Minggu, 26 Juli 2015

Sejarah Budaya Pakpak


A. Sejarah Suku Pakpak dalam jejak hindu-budha
Selama ini pihak keturunan Raja Borbor ataupun yang lebih kecilnya lagi keturunan Silau Raja dari Toba selalu mengklaim bahawa semua marga yang berbunyi Manik entah dari Toba, Damanik di Simalungun, Karo-Karo Manik di Karo dan Manik di Pakpak Dairi seakan-akan membuat sebutan “manik” adalah Hak Ekslusif dari pihak Toba semata.

Diceritakan dalam Sejarah Pihak Pakpak maka asal mereka adalah dari India Selatan yaitu dari Indika Tondal ke Muara Tapus dekat Barus lalu berkembang di Tanah Pakpak dan menjadi Suku Pakpak.Pada dasarnya mereka sudah mempunyai marga sejak dari negeri asal namun kemudian membentuk marga baru yang tidak jauh berbeda dengan marga aslinya.

Tidak semua Orang Pakpak berdiam di atas Tanah Dairi namun mereka juga berdiaspora,meninggalkan negerinya dan menetap di daerah baru.
  1. Sebagian tinggal di Tanah Pakpak dan menajadi Suku Pakpak “Situkak Rube:,”Sipungkah Kuta” dan “Sukut Ni Talun” di Tanah Pakpak.
  2. Sebagian ada pergi merantau ke daerah lain,membentuk komunitas baru.Dia tahu asalnya dari Pakpak dan diakui bahwa Pakpak adalah sukunya namun sudah menjadi marga di suku lain.
  3. Ada juga yang merantau lalu mengganti Nama dan Marga dengan kata lain telah mengganti identitasnya.
Diceritakan bahwa Nenek Moyang awal Pakpak adalah Kada dan Lona yang pergi meninggalkan kampungnya di India lalu terdampar di Pantai Barus dan terus masuk hingga ke Tanah Dairi,dari pernikahan mereka mempunyai anak yang diberi nama HYANG.Hyang adalah nama yang dikeramatkan di Pakpak.
Hyang pun besar dan kemudian menikah dengan Putri Raja Barus dan mempunyai 7 orang Putra dan 1 orang Putri yaitu :
1) Mahaji
2) Perbaju Bigo
3) Ranggar Jodi
4) Mpu Bada
5) Raja Pako
6) Bata
7) Sanggar
8) Suari (Putri)

Pada urutan ke 4 terdapat nama Mpu Bada, Mpu Bada adalah yang terbesar dari pada saudara-saudaranya semua,bahkan dari pihak Toba pun kadangkala mengklaim bahwa Mpu Bada adalah Keturunan dari Parna dari marga Sigalingging.sedangkan pada sejarah sudah jelas-jelas bahwa Mpu Bada adalah anak ke 4 dari Hyang.Makanya perlu hati-hati jika memperhatikan pembalikan fakta sejarah yang sering dilakukan oleh Pihak Toba dewasa ini.

Anak Sulung,Mahaji mempunyai Kerajaan di Banua Harhar yang mana saat ini dikenal dengan nama Hulu Lae Kombih,Kecamatan Siempat Rube.
Parbaju Bigo pergi ke arah Timur dan membentuk Kerajaan Simbllo di Silaan,saat ini dikenal dengan Kecamatan STTU Julu.

 Ranggar Jodi pergi ke arah Utara dan membentuk Kerajaan yang bertempat di Buku Tinambun dengan nama Kerajaan Jodi Buah Leuh dan Nangan Nantampuk Emas,saat ini masuk Kecamatan STTU Jehe.Mpu Bada pergi ke arah Barat melintasi Lae Cinendang lalu tinggal di Mpung Si Mbentar Baju.Raja Pako pergi ke arah Timur Laut membentuk Kerajaan Si Raja Pako dan bermukim di Sicike-cike.
Bata pergi ke arah Selatan dan menikah kemudian hanya mempunyai seorang Putri yang menikah dengan Putra Keturunan Tuan Nahkoda Raja.Dari sini menurunkan marga Tinambunen,Tumangger,Maharaja,Turuten,Pinanyungen dan Anak Ampun.


Sanggir pergi ke arah Selatan tp lebih jauh daripada Bata dan mmbentuk Kerajaan di sana,dipercaya menjadi nenek moyang marga Meka,Mungkur dan Kelasen.
Suari Menikah dengan Putra Raja Barus dan memdiam di Lebbuh Ntua.
Marga Manik diturunkan oleh Mpu Bada yang mempunyai 4 orang anak yaitu :
1. Tondang
2. Rea sekarang menjadi Banurea
3. Manik
4. Permencuari yang kemudian menurunkan marga Boang Menalu dan Bancin.
B. Asal-usul dan persebaran orang Pakpak
Pakpak biasanya dimasukkan sebagai bagian dari etnis Batak, sebagaimana Karo, Mandailing, Simalungun, dan Toba. Orang Pakpak dapat dibagi menjadi 5 kelompok berdasarkan wilayah komunitas marga dan dialek bahasanya, yakni
1.Pakpak Simsim, yakni orang Pakpak yang menetap dan memiliki hak ulayat di daerah
Simsim. Antara lain marga
Berutu Banurea
Sinamo Boang manalu
Padang Sitakar
Manik Lingga
Tinendung Kabeaken
Limbong Cibro
Solin dll
Dalam administrasi pemerintahan Republik Indonesia, kini termasuk dalam wilayah Kabupaten Pakpak Bharat.
2.Pakpak Kepas, yakni orang Pakpak yang menetap dan berdialek Keppas.
Antara lain marga
Ujung Angkat
Bintang Capah
Bako Kudadiri
Maha Gajah Manik
Gajah dll.
Dalam administrasi pemerintahan Republik Indonesia, kini termasuk dalam wilayah Kecamatan Silima Pungga-pungga, Tanah Pinem, Parbuluan, dan Kecamatan Sidikalang di Kabupaten Dairi.
3.Pakpak Pegagan, yakni orang Pakpak yang berasal dan berdialek Pegagan. Antara lain
Marga
Lingga Maibang
Matanari ManikSiketang
dll
Dalam administrasi pemerintahan Republik Indonesia, kini termasuk dalam wilayah
Kecamatan Sumbul, Pegagan Hilir, dan Kecamatan Tiga Lingga di Kabupaten Dairi.
4.Pakpak Kelasen, yakni orang Pakpak yang berasal dan berdialek Kelasen. Antara lain marga
Tumangger Anak ampun
Siketang Kesogihen
Tinambunan Maharaja
Meka Beras
Mungkur dll

Dalam administrasi pemerintahan Republik Indonesia, kini termasuk dalam wilayah
Kecamatan Parlilitan dan Kecamatan Pakkat (di Kabupaten Humbang Hasundutan), serta
Kecamatan Barus (di Kabupaten Tapanuli Tengah).
5.Pakpak Boang, yakni orang Pakpak yang berasal dan berdialek Boang. Antara lain marga
Sambo, Penarik, dan Saraan. Dalam administrasi pemerintahan Republik Indonesia, kini
termasuk dalam wilayah Singkil (Nanggroe Aceh Darussalam).
Berikut ini adalah Tabel nama marga-marga pada suku pakpak:
· Anakampun
· Angkat
· Bako
· Bancin
· Banurea
· Berampu
· Berasa
· Beringin
· Berutu
· Bintang
· Boangmanalu
· Capah
· Ceun
· Dabutar
· Cibro
· Gajah Manik
· Gajah
· Kabeaken
· Kesogihen
· Kaloko
· Kombih
· Kudadiri
· Lembeng
· Lingga
· Maha
· Pinayungen
· Maharaja
· Manik
· Matanari
· Meka
· Maibang
· Mungkur
· Padang
· Padang Batanghari (BTH)
· Pasi
· Penarik Pinayungan
· Pohan
· Sambo
· Saraan
· Sagala
· Sikettang
· Sinamo
· Sitakar
· Sitongkir
· Solin
· Saing
· Tendang
· Tinambunan
· Tinendung
· Tumangger
· Turutan
· Ujung

Meskipun oleh para antropolog orang-orang Pakpak dimasukkan sebagai salah satu sub etnis Batak di samping Toba, Mandailing, Simalungun, dan Karo. Namun, orang-orang Pakpak mempunyai versi sendiri tentang asal-usul jatidirinya. Berkaitan dengan hal tersebut sumber-sumber tutur menyebutkan antara lain (Sinuhaji dan Hasanuddin,1999/2000:16):
  1. Keberadaan orang-orang Simbelo, Simbacang, Siratak, dan Purbaji yang dianggap telah mendiami daerah Pakpak sebelum kedatangan orang-orang Pakpak.
  2. Penduduk awal daerah Pakpak adalah orang-orang yang bernama Simargaru, Simorgarorgar, Sirumumpur, Silimbiu, Similang-ilang, dan Purbaji.
  3. Dalam lapiken/laklak (buku berbahan kulit kayu) disebutkan penduduk pertama daerah Pakpak adalah pendatang dari India yang memakai rakit kayu besar yang terdampar di Barus.
  4. Persebaran orang-orang Pakpak Boang dari daerah Aceh Singkil ke daerah Simsim, Keppas, dan Pegagan.
  5. Terdamparnya armada dari India Selatan di pesisir barat Sumatera, tepatnya di Barus, yang kemudian berasimilasi dengan penduduk setempat.
Berdasarkan sumber tutur serta sejumlah nama marga Pakpak yang mengandung unsur keindiaan (Lingga, Maha, dan Maharaja), boleh jadi di masa lalu memang pernah terjadi kontak antara penduduk pribumi Pakpak dengan para pendatang dari India. Jejak kontak itu tentunya tidak hanya dibuktikan lewat dua hal tersebut, dibutuhkan data lain yang lebih kuat untuk mendukung dugaan tadi. Oleh karena itu maka pengamatan terhadap produk-produk budaya baik yang tangible maupun intangible diperlukan untuk memaparkan fakta adanya kontak tersebut. Selain itu waktu, tempat terjadinya kontak, dan bentuk kontak yang bagaimanakah yang mengakibatkan wujud budaya dan tradisi masyarakat Pakpak sebagaimana adanya saat ini. Untuk itu diperlukan teori-teori yang relevan untuk menjelaskan sejumlah fenomena budaya yang ada.

Jumlah etnis Pakpak sekarang ini baik yang bertempat tinggal di Pakpak maupun di luar Pakpak sekitar 500.000 orang. Adapun dari masing-masing tersebut diatas adalah sbb:
a. Si Haji dengan keturunannya bermaga Padang, Brutu dan Solin.
b. Si Raja Pako tempat di Sicike-cike dengan keturunannya Marga Ujung Angkat, Bintang Capah, Sinamo, Kudadiri dan Gajah Manik (Si Pitu Marga)
c. Pubada dengan keturunannya Manik, Beringin, Tendang, Bunurea, Gajah, Siberasa.
d. Ranggar djodi
e. Mbello (Perbaju bigo) Menurut kisah telah tenggelam oleh suatu peristiwa.
f. SANGGIR dengan keturunannya Tumangger, Tinambunan, Anakampun, Meka, Mungkur, Pasi, Pinayungen.
 C.Jejak Hindu-Buddha dalam kepercayaan dan tradisi orang Pakpak
Sebelum kedatangan agama Islam dan Kristen di tanah Pakpak, masyarakatnya meyakini bahwa alam raya ini diatur oleh Tritunggal Daya Adikodrati yang terdiri dari Batara
GuruTunggul Ni Kuta, dan Boraspati Ni Tanoh (Siahaan dkk.,1977/1978:62). Nama-nama itu antara lain terwujud lewat mantra ketika diadakan upacara menuntung tulan(pembakaran tulang-tulang leluhur). Sebelum api disulut oleh salah seorang Kula-kula/Puang dia mengucapkan kata-kata sebagai berikut (Berutu, 2007:32):

“O…pung…! Ko Batara Guru, Beraspati ni tanah, Tunggul ni kuta, … .”
Nama Boraspati dan Batara Guru jelas merupakan adopsi dari bahasa Sanskerta yang disesuaikan dengan pelafalan setempat. Kata Boraspati merupakan adopsi dari kata Warhaspati yang berarti nama/sebutanpurohita (utama/pertama) bagi para dewa. Jadi kata ini merujuk pada penyebutan bagi dewa tertinggi atau yang dianggap utama/penting yang dalam konteks ini (boraspati ni tanoh) dapat diartikan sebagai dewa utama yang berkuasa di tanah/bumi.
D.Kebudayaan Pakpak sebagai buah dari perdagangan internasional
Masuknya unsur-unsur budaya Hindu-Buddha (India) ke dalam budaya Pakpak dimungkinkan oleh adanya kontak antarpendukung kedua budaya. Tempat yang paling memungkinkan terjadinya kontak itu di masa lalu adalah Barus, yang bukti-bukti sejarah maupun arkeologisnya menunjukkan tempat ini pernah berjaya sebagai bandar internasional.

Para pedagang dari India mendatangi Barus untuk membeli getah bernilai tinggi yang dihasilkan di daerah Pegunungan Bukit Barisan yang menjadi tempat tinggal orang-orang Pakpak. Bukti kehadiran mereka –terutama dari India selatan/daerah Tamil- adalah Prasasti Lobu Tua, yang ditemukan di Barus, Tapanuli Tengah. Prasasti berangka tahun 1010 Saka (1088 M) ini dikeluarkan oleh suatu serikat dagang yang bernama Ayyāvole 500(Perkumpulan 500) (Sastri,1932:326 dan Subbarayalu,2002:24).

Dalam beberapa teks berbahasa Armenia yang berasal dari abad ke-13 hingga ke-18 Masehi terdapat suatu tempat yang disebut Pant’chour/Part’chour sebagai tempat asal kamper bermutu terbaik (Kévonian,2002:51). Menurut teks-teks Armenia tempat lain yang juga banyak mengeluarkan kamper bermutu adalah P’anes/ Ēp’anes/ Ēp’anis/Ep’anēs, yang terletak di pantai timur di bawah Perlak/Peureulak. Menurut teks-teks Armenia tersebut hanya ada 2 tempat di Pulau Sumatera yang mengeluarkan mata dagangan kamper yakni Pant’chour dan P’anēs (Kévonian,2002:70–72). Prasasti Rajendra I di Tanjavur menyebutkan tentang “Pannai di tepi sungai” sebagai salah satu tempat yang diserbu tentara Cola pada tahun 1025 M. Berdasarkan sumber-sumber tertulis itu titik-titik kontak antara pribumi Pakpak dengan budaya India adalah Barus yang berada di pesisir barat Sumatera dan Pane di selatannya yang bermuara di pesisir timur Pulau Sumatera.

Walaupun daerah Pakpak berada di gugusan Pegunungan Bukit Barisan, namun lembah-lembah beserta aliran sungainya memegang peranan penting bagi terciptanya komunikasi antara daerah pesisir dengan daerah pedalaman. Di samping itu, gugusan pegunungan, lembah-lembah, dan sungai-sungai yang ada juga ikut menciptakan jaringan perdagangan antara daerah pesisir dan pedalaman. Dunia niaga antara kawasan Singkel dan Barus denganPakpak landen (tanah Pakpak) dan Sibolga serta Natal dengan Angkola dan Mandailing banyak ditentukan oleh jalur niaga yang melalui gugusan pegunungan, lembah-lembah, dan sungai-sungai di daerah tersebut (Asnan,2007:40–41).

Sampai awal abad ke-19 penduduk dari subetnis Pakpak, Angkola, dan Mandailing dikenal sebagai pengumpul hasil hutan (terutama kamper dan kemenyan) yang mereka jual ke daerah pantai barat Sumatera. Selain pantai timur Sumatera daerah pesisir barat Sumatera merupakan daerah pasar utama dari berbagai komoditas yang dikumpulkan dan dihasilkan oleh masyarakat Pakpak, Angkola, dan Mandailing (Asnan,2007:42).

Kontak yang terjadi antara orang-orang Pakpak dengan para pendatang dari India di masa lalu mengakibatkan terjadinya akulturasi. Akulturasi adalah salah satu proses perubahan budaya, yang ditandai oleh terjadinya interaksi intensif antara kelompok-kelompok individu dengan kebudayaan berbeda, yang mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan besar pada pola kebudayaan dari salah satu atau kelompok-kelompok yang terlibat.

Dalam hal kebudayaan Pakpak, tampaknya akulturasi yang berupa adisi merupakan proses budaya yang terjadi di masa lalu. Sebelum kedatangan orang-orang India dengan kebudayaannya yang khas, orang-orang Pakpak telah mewarisi kebudayaan tersendiri yang berbeda dari para pendatang dari barat tersebut. Datangnya budaya baru pada masyarakat Pakpak memperkaya khasanah budaya yang telah lama mereka miliki. Pada ranah sistem kepercayaan misalnya sebelum kedatangan kepercayaan Hindu-Buddha masyarakat telah memiliki kepercayaan terhadap roh-roh leluhur. Masuknya agama Hindu-Buddha dengan pantheon-pantheon dan sistem ikonografinya telah menambah ragam bentuk hasil budaya trimatra Pakpak yang telah ada sebelumnya.


Bentuk-bentuk seperti patung angsa yang berfungsi sebagai tutup batu pertulanensebenarnya tidak lain adalah hasil interpretasi Pakpak terhadap ikonografi Hindu yang dikawinkan dengan bentuk mejan yang telah ada sebelumnya, sebagai suatu simbol kendaraan/wahana arwah. Bentuk mejan awal/asli pribumi Pakpak itu mungkin sebagaimana yang hingga kini masih dapat dilihat di daerah Toba seperti bentuk kepala burung enggang/rangkong, kuda, dan perahu yang dianggap sebagai simbol asli bagi kendaraan arwah.
E.STRUKTUR KEMASYARAKATAN
Masyarakat terdiri dari atas Marga-marga (65 marga) yang mendiami masing-masing kawasan hak tanah ulayat yang merupakan satu kesatuan dengan hidupnya dipimpin oleh Pertaki kemudian diatasnya adalah AUR yang dipimpin seorang Raja.
Struktur kemasyarakatan tersebut diletakkan pada SULANG SILIMA yang terdiri dari pada PRISANG-ISANG (Sukut) Pertualang tengah (Saudara-saudara tengah) PEREKUR-EKUR (Siampunan/bungsu) PERBETEKKEN (berru) dan PUNCA NDIADEP (Puang kula-kula). Pembagian status ini mempunyai peranan penting di dalam kemasyarakatan terutama berkaitan dengan status seseorang yang harus termasuk di dalam Sulang Silima tersebut. Pertaki mempunyai peranan yang sangat luas seperti pepatah mengatakan “Bana bilalang Bana birru, Bana ulubang bana guru” mempunyai kelebihan sebagai Panglima Perang, Raja Adat dan sebagai Guru yang menjadi suri teladan serta panutan bagi masyarakatnya.
Read More..

BANUREA MARGA PARNA (Pomparan ni Raja Nai Ambaton)


Bagi masyarakat Bangso Batak dan para Anthropolog/Etnolog telah banyak mengkaji keberadaan marga-marga keturunan Raja Nai Ambaton yang memegang teguh amanat leluhurnya dalam membangun ikatan persaudaraan pada berbagai wilayah di Indonesia sampai ke luar negeri (desa na ualu). Warga Parna dalam berkomunikasi persaudaraan tidak memandang adanya sekat/batas, wilayah penyebaran sub Etnis (puak), Agama, Sosial Budaya, Sosial Ekonomi dan Sosial Politik. Kenyataan, sebegitu tahu dirinya bagian dari marga PARNA komunikasi akan terbangun secara spontanitas. Ini sudah menjadi kebiasaan dan berlangsung cukup lama, bukan satu abad saja. Telah teruji dalam sejarah perjuangan, zaman revolusi, termasuk dalam menegakkan kemerdekaan RI, demikian dituturkan para orang tua-tua pelaku perjuangan dari berbagai wilayah. Begitu sakral ikatan kekerabatan (pertuturan) PARNA ini bagi individu yang sudah merasakannya. Banyak perantau mendapat pengayoman dari semarganya, ketika dia berada di daerah baru di seluruh wilayah Indonesia ia mendapatkan orang tua, walau orang tua kandungnya jauh nun di tanah Batak sana. Seorang putra Batak keturunan Raja Nai Ambaton diperantauan cukup menyebut tahu lingkup marga-marganya, itu sebagai modal berkomunikasi, bahwa ia anak, bapak dan kakek, atau cucu, termasuk boru (sepengambilan-berkawan). Penghayatan kepada amanat leluhur Raja Nai Ambaton Nama Cabang Marga Bangso Batak Keturunan Raja Nai Ambaton ( Parna) Setelah membaca tulisan dari Bpk. PMH. Sidauruk yang berjudul "Inilah ke 64 Marga pada Keluarga Besar PARNA", di www.sinarpagibaru.com, Penulis merasa tertantang juga untuk membuat list marga Parna yang konon ceritanya jumlahnya tidak pasti. Dari sejak kecil Penulis diberitahu oleh orang tua bahwa ada 62 Marga Parna, akan tetapi setelah ditelusuri lebih lanjut, ternyata lebih banyak dari angka tersebut. Menurut Rapat Kerja Nasional Parna Se-Indonesia, ada 64 Marga Parna. Akan tetapi menurut hasil penelusuran Penulis ada 83 Marga Parna dimana tidak semua marga dibawah ini mengakui sebagai bagian dari Parna. Tercatat di Wilayah: Samosir, Toba, Simalungun, Karo, Tapanuli Selatan, Pakpak/Dairi, Alas, Gayo dan Singkil. Daftar marga ini tersusun menurut alfabetis dan diolah dari berbagai sumber.: si sada anak, si sada boru;, walau ada yang membuat istilah itu ; sisada lulu anak, sisada lulu boru;, entah apa bedanya, apa artinya secara hakiki. Hal itu bukan sekedar main main bagi setiap individu keturunan raja Nai Ambaton, baik pada saat acara adat (ulaon) dalam keadaan bahagia, suka cita, (Las ni Roha) maupun pada waktu duka (Lungun ni Roha) tetap mempertahankan tidak boleh saling mengawini sesama marga PARNA. (Na So Jadi marsibuatan anak/boru angka pinompar ni Parna) atau incest atau dilarang saling mengawini putra-putri bagi marga parna). Tanggung jawab keluarga Parna dalam adat istiadat dapat dipikul keluarga marga parna setempat ketika orang tuanya jauh dari perantauan bila melangsungkan pernikahan, misalnya di Papua sekalipun ia berada.
  1. Bancin
  2. Banuarea/Banurea
  3. Berampu/Brampu
  4. Barasa/Brasa
  5. Baringin/Bringin
  6. Beruh (Kutacane)
  7. Biru
  8. Boangmanalu
  9. Capah
  10. Dajawak
  11. Dalimunthe
  12. Damunthe
  13. Dasalak
  14. Gajah
  15. Ginting Beras
  16. Ginting Bukit
  17. Ginting Capa
  18. Ginting Garamata
  19. Ginting Ajar Tambun
  20. Ginting Baho
  21. Ginting Guru Patih
  22. Ginting Jadi Bata
  23. Ginting Jawak
  24. Ginting Manik
  25. Ginting Munthe
  26. Ginting Pase
  27. Ginting Sugihen
  28. Ginting Sinisuka
  29. Ginting Tumangger
  30. Garingging
  31. Haro
  32. Hubu
  33. Hobun
  34. Kombih (Singkil)
  35. Maharaja
  36. Manihuruk
  37. Manik Kacupak
  38. Munthe
  39. Nadeak
  40. Nahampun/Anak Ampun
  41. Napitu
  42. Pinayungan/Pinayungen
  43. Pasi
  44. Rumahorbo
  45. Saing
  46. Sampun
  47. Saraan
  48. Saragi
  49. Saragih Dajawak
  50. Saragih Damunthe
  51. Siadari
  52. Siallagan
  53. Siambaton
  54. Sidabalok
  55. Sidabungke
  56. Sidabutar
  57. Sidauruk
  58. Sigalingging
  59. Sijabat
  60. Sikedang (Kutacane)
  61. Simalango
  62. Simarmata
  63. Simbolon Altong Nabegu
  64. Simbolon Hapotan
  65. Simbolon Juara Bulan
  66. Simbolon Pande Sahata
  67. Simbolon Panihai
  68. Simbolon Suhut Nihuta
  69. Simbolon Tuan
  70. Simbolon Sirimbang
  71. Sitanggang Bau
  72. Sitanggang Gusar
  73. Sitanggang Lipan
  74. Sitanggang Silo
  75. Sitanggang Upar Parangin Nawalu
  76. Sitio
  77. Sumbayak
  78. Tamba
  79. Tendang
  80. Tinambunan/Tinambunen
  81. Tumanggor/Tumangger
  82. Turnip
  83. Turutan/Turuten.
Read More..